Shalat Istikharah
![DO'A SHOLAT ISTIKHOROH](http://kaahil.files.wordpress.com/2012/03/jalanbercabang.jpg?w=300&h=197)
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَلِّمُنَا الِاسْتِخَارَةَ فِي الْأُمُورِ
كُلِّهَا كَمَا يُعَلِّمُنَا السُّورَةَ مِنْ الْقُرْآنِ يَقُولُ إِذَا
هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالْأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ
الْفَرِيضَةِ ثُمَّ لِيَقُلْ
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلَا أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلَا أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ خَيْرٌ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي أَوْ قَالَ عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ فَاقْدُرْهُ لِي وَيَسِّرْهُ لِي ثُمَّ بَارِكْ لِي فِيهِ وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ شَرٌّ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي أَوْ قَالَ فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ وَاقْدُرْ لِي الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِي قَالَ وَيُسَمِّي حَاجَتَهُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajari kami
istikharah dalam setiap urusan yan kami hadapi sebagaimana beliau
mengajarkan kami suatu surah dari Al-Qur’an. Beliau shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Jika seorang dari kalian menghadapi masalah maka
ruku’lah (shalat) dua raka’at yang bukan shalat wajib kemudian
berdo’alah:
Allahumma inniy astakhiiruka bi ‘ilmika wa astaqdiruka biqudratika wa as-aluka min fadhlikal ‘azhim, fainnaka taqdiru wa laa aqdiru wa ta’lamu wa laa ‘Abdullah’lamu wa anta ‘allaamul ghuyuub. Allahumma in kunta ta’lamu anna haadzal amru khairul liy fiy diiniy wa ma’aasyiy wa ‘aaqibati amriy” atau; ‘Aajili amriy wa aajilihi faqdurhu liy wa yassirhu liy tsumma baarik liy fiihi. Wa in kunta ta’lamu anna haadzal amru syarrul liy fiy diiniy wa ma’aasyiy wa ‘aaqibati amriy” aw qaola; fiy ‘aajili amriy wa aajilihi fashrifhu ‘anniy washrifniy ‘anhu waqdurliyl khaira haitsu kaana tsummar dhiniy.”
(Ya Allah aku memohon pilihan kepada-Mu dengan ilmuMu dan memohon
kemampuan dengan kekuasaan-Mu dan aku memohon karunia-Mu yang Agung.
Karena Engkau Maha Mampu sedang aku tidak mampu, Engkau Maha Mengetahui
sedang aku tidak mengetahui, Engkaulah yang Maha Mengetahui perkara yang
gaib. Ya Allah bila Engkau mengetahui bahwa urusan ini baik untukku,
bagi agamaku, kehidupanku dan kesudahan urusanku ini -atau beliau
bersabda: di waktu dekat atau di masa nanti- maka takdirkanlah buatku
dan mudahkanlah kemudian berikanlah berkah padanya. Namun sebaliknya ya
Allah, bila Engkau mengetahui bahwa urusan ini buruk untukku, bagi
agamaku, kehidupanku dan kesudahan urusanku ini -atau beliau bersabda:
di waktu dekat atau di masa nanti- maka jauhkanlah urusan dariku dan
jauhkanlah aku darinya. Dan tetapkanlah buatku urusan yang baik saja
dimanapun adanya kemudian jadikanlah aku ridha dengan ketetapan-Mu itu”.
Beliau bersabda: “Dia sebutkan urusan yang sedang diminta pilihannya
itu”. (HR. Al-Bukhari no. 1162)
Cara menyebutkan urusannya misalnya: Ya Allah, jika engkau mengetahui bahwa safar ini atau pernikahan ini atau usaha ini atau mobil ini baik bagiku …, dan seterusnya.
Cara menyebutkan urusannya misalnya: Ya Allah, jika engkau mengetahui bahwa safar ini atau pernikahan ini atau usaha ini atau mobil ini baik bagiku …, dan seterusnya.
Penjelasan ringkas:
Sesungguhnya manusia adalah makhluk yang sangat lemah, mereka sangat membutuhkan bantuan dari Allah Ta’ala dalam semua urusan mereka. Hal itu karena dia tidak mengetahui hal yang ghaib sehingga dia tidak bisa mengetahui mana amalan yang akan mendatangkan kebaikan dan mana yang akan mendatangkan kejelekan bagi dirinya. Karenanya, terkadang seseorang hendak mengerjakan suatu perkara dalam keadaan dia tidak mengetahui akibat yang akan lahir dari perkara tersebut atau hasilnya mungkin akan meleset dari perkiraannya.
Oleh karena itulah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
mensyariatkan adanya istikharah, yaitu permintaan kepada Allah agar Dia
berkenan memberikan hidayah kepadanya menuju kepada kebaikan. Yang mana
doa istikharah ini dipanjatkan kepada Allah setelah dia mengerjakan
shalat sunnah dua rakaat.
Allah Ta’ala berfirman:
Allah Ta’ala berfirman:
وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ
الْخِيَرَةُ سُبْحَانَ اللَّهِ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ. وَرَبُّكَ
يَعْلَمُ مَا تُكِنُّ صُدُورُهُمْ وَمَا يُعْلِنُونَ. وَهُوَ اللَّهُ لا
إِلَهَ إِلَّا هُوَ لَهُ الْحَمْدُ فِي الْأُولَى وَالْآخِرَةِ وَلَهُ
الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“Dan Rabbmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya.
Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha
Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia). Dan Tuhanmu
mengetahui apa yang disembunyikan (dalam) dada mereka dan apa yang
mereka nyatakan. Dan Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) melainkan Dia, bagi-Nyalah segala puji di dunia dan di
akhirat, dan bagi-Nyalah segala penentuan dan hanya kepada-Nyalah kalian
dikembalikan.” (QS. Al-Qashash: 68-70)
Imam Muhammad bin Ahmad Al-Qurthuby rahimahullah berkata, “Sebagian ulama mengatakan: Tidak sepantasnya bagi seseorang untuk mengerjakan suatu urusan dari urusan-urusan dunia kecuali setelah dia meminta pilihan kepada Allah dalam urusan tersebut. Yaitu dengan dia shalat dua rakaat shalat istikharah.” (Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur`an: 13/202)
Imam Muhammad bin Ahmad Al-Qurthuby rahimahullah berkata, “Sebagian ulama mengatakan: Tidak sepantasnya bagi seseorang untuk mengerjakan suatu urusan dari urusan-urusan dunia kecuali setelah dia meminta pilihan kepada Allah dalam urusan tersebut. Yaitu dengan dia shalat dua rakaat shalat istikharah.” (Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur`an: 13/202)
Shalat istikharah termasuk dari shalat-shalat sunnah berdasarkan
kesepakatan para ulama. Al-Hafizh Al-Iraqi berkata -sebagaimana dalam
Fath Al-Bari (11/221-222), “Saya tidak mengetahui ada ulama yang
berpendapat wajibnya shalat istikharah.”
Faidah:
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Al-Fath (11/220), “Ibnu Abi Hamzah berkata: Amalan yang wajib dan yang sunnah tidak perlu melakukan istikharah dalam melakukannya, sebagaimana yang haram dan makruh tidak perlu melakukan istikharah dalam meninggalkannya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Al-Fath (11/220), “Ibnu Abi Hamzah berkata: Amalan yang wajib dan yang sunnah tidak perlu melakukan istikharah dalam melakukannya, sebagaimana yang haram dan makruh tidak perlu melakukan istikharah dalam meninggalkannya.
Maka urusan yang butuh istikharah hanya terbatas pada perkara yang mubah
dan dalam urusan yang sunnah jika di depannya ada dua amalan sunnah
yang hanya bisa dikerjakan salah satunya, mana yang dia kerjakan lebih
dahulu dan yang dia mencukupkan diri dengannya.” Maka janganlah
sekali-kali kamu meremehkan suatu urusan, akan tetapi hendaknya kamu
beristikharah kepada Allah dalam urusan yang kecil dan yang besar, yang
mulia atau yang rendah, dan pada semua amalan yang disyariatkan
istikharah padanya. Karena terkadang ada amalan yang dianggap remeh akan
tetapi lahir darinya perkara yang mulia.”
Berikut beberapa permasalahan yang sering ditanyakan berkenaan dengan istikharah:
1. Apakah boleh istikharah dengan doa selain doa di atas atau dengan bahasa Indonesia?
Jawab: Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu berkata dalam hadits di atas, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam mengajari kami istikharah dalam setiap
urusan yang kami hadapi sebagaimana beliau mengajarkan kami suatu surah
dari Al-Qur’an.”
Ucapan ini menunjukkan bahwa dalam istikharah seseorang hanya boleh membaca doa di atas sesuai dengan konteks aslinya, tidak boleh ada penambahan dan tidak boleh juga ada pengurangan. Hal itu karena Nabi shallallahu alaihi wasallam menyerupakan pengajaran istikharah seperti pengajaran surah Al-Qur`an. Maka sebagaimana suatu ayat dalam Al-Qur`an tidak boleh ditambah atau dikurangi atau dirubah maka demikian halnya dengan doa istikharah. Karenanya tidak boleh berdoa dengan membaca terjemahannya semata, tapi dia harus membacanya sebagaimana Nabi mengajarkannya.
Ucapan ini menunjukkan bahwa dalam istikharah seseorang hanya boleh membaca doa di atas sesuai dengan konteks aslinya, tidak boleh ada penambahan dan tidak boleh juga ada pengurangan. Hal itu karena Nabi shallallahu alaihi wasallam menyerupakan pengajaran istikharah seperti pengajaran surah Al-Qur`an. Maka sebagaimana suatu ayat dalam Al-Qur`an tidak boleh ditambah atau dikurangi atau dirubah maka demikian halnya dengan doa istikharah. Karenanya tidak boleh berdoa dengan membaca terjemahannya semata, tapi dia harus membacanya sebagaimana Nabi mengajarkannya.
Barangsiapa yang berdoa dengan terjemahannya maka dia tidak teranggap
melakukan istikharah, akan tetapi dia hanya dianggap sedang berdoa
kepada Allah. Hal ini telah diisyaratkan oleh Muhammad bin Abdillah bin
Al-Haaj Al-Maliki rahimahullah dalam Al-Madkhal (4/37-38)
2. Apakah boleh langsung berdoa dengan doa di atas tanpa melakukan shalat sebelumnya?
Jawab: Wallahu a’lam, yang nampak bahwa 2 rakaat dengan doa ini merupakan satu kesatuan dalam istikharah.
Karenanya barangsiapa yang hanya berdoa tanpa mengerjakan shalat maka
dia tidak dianggap mengerjakan istikharah yang tersebut dalam hadits
ini. Walaupun dia tetap dianggap sebagai orang yang berdoa kepada Allah.
Akan tetapi jika dia ada uzur dalam mengerjakan shalat -misalnya wanita yang tengah haid atau nifas-, maka dia boleh langsung berdoa dan itu sudah dianggap sebagai istikharah karenanya adanya uzur untuk tidak mengerjakan shalat. Ini merupakan mazhab Al-Hanafiah, Al-Malikiah, dan Asy-Syafi’iyah.
Akan tetapi jika dia ada uzur dalam mengerjakan shalat -misalnya wanita yang tengah haid atau nifas-, maka dia boleh langsung berdoa dan itu sudah dianggap sebagai istikharah karenanya adanya uzur untuk tidak mengerjakan shalat. Ini merupakan mazhab Al-Hanafiah, Al-Malikiah, dan Asy-Syafi’iyah.
Imam An-Nawawi berkata dalam Al-Adzkar hal. 112, “Jika dia tidak bisa mengerjakan shalat karena ada uzur, maka hendaknya dia cukup beristikharah dengan doa.”
3. Apakah dua rakaat ini merupakan shalat khusus, ataukah berlaku untuk semua shalat sunnah dua rakaat?
Jawab: Lahiriah hadits menunjukkan ini merupakan shalat dua rakaat
khusus dengan niat untuk istikharah. Hanya saja jika seseorang shalat
sunnah rawatib dengan niat rawatib sekaligus niat istikharah
(menggabungkan niat), maka itu sudah cukup baginya dan dia sudah boleh
langsung berdoa setelahnya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Jika dia meniatkan shalat itu dengan
niatnya dan dengan niat shalat istikharah secara bersamaan
(menggabungkan niatnya, pent.) maka shalatnya itu sudah syah dianggap
sebagai istikharah, berbeda halnya jika dia tidak meniatkannya (sebagai
shalat istikharah).” (Fath Al-Bari: 11/221)
Sekedar menguatkan isi hadits, bahwa dua rakaat yang dimaksud haruslah merupakan shalat sunnah. Karenanya shalat subuh tidak bisa diniatkan sebagai shalat istikharah karena dia merupakan shalat wajib.
Sekedar menguatkan isi hadits, bahwa dua rakaat yang dimaksud haruslah merupakan shalat sunnah. Karenanya shalat subuh tidak bisa diniatkan sebagai shalat istikharah karena dia merupakan shalat wajib.
4. Adakah surah khusus yang disunnahkan untuk dibaca dalam shalat istikharah?
Jawab: Al-Hafizh Al-Iraqi rahimahullah berkata, “Saya tidak menemukan sedikitpun dalam jalan-jalan hadits istikharah adanya penentuan surah tertentu yang dibaca di dalamnya.” (Umdah Al-Qari`: 7/235)
Inilah pendapat yang benar karena tidak ada satupun dalil yang menunjukkan adanya surah tertentu yang lebih utama dibaca dalam shalat istikharah. Sementara tidak boleh menentukan lebih utamanya suatu surah dibandingkan yang lainnya dari sisi bacaan kecuali dengan dalil yang shahih.
Inilah pendapat yang benar karena tidak ada satupun dalil yang menunjukkan adanya surah tertentu yang lebih utama dibaca dalam shalat istikharah. Sementara tidak boleh menentukan lebih utamanya suatu surah dibandingkan yang lainnya dari sisi bacaan kecuali dengan dalil yang shahih.
5. Bagi yang tidak menghafal doanya, apakah dia bisa membacanya dari sebuah buku?
Jawab: Yang jelas, yang pertama kita katakan: Hendaknya dia berusaha semaksimal mungkin untuk menghafalnya.
Jika dia tidak sanggup, maka Allah tidak membebani seseorang kecuali dengan kemampuannya.
Dalam keadaan seperti ini dia diperbolehkan membaca doa ini dengan
melihat kepada kitab atau catatannya. Al-Lajnah Ad-Da`imah menjawab
ketika diajukan pertanyaan yang senada dengan di atas, “Jika engkau
menghafal doa istikharah atau engkau membacanya dari kitab, maka tidak
ada masalah. Hanya saja kamu wajib bersungguh-sungguh dalam
berkonsentrasi dan khusyu’ kepada Allah serta jujur dalam berdoa.”
(Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah: 8/161)
6. Bolehkah shalat istikharah pada waktu yang terlarang shalat?
Jawab: Jika shalat istikharahnya masih bisa ditunda hingga keluar
dari waktu yang terlarang maka inilah yang lebih utama dia kerjakan. Akan
tetapi shalat istikharah ini jika tidak bisa diundur atau dia butuhkan
saat itu juga, maka dia boleh mengerjakannya saat itu juga walaupun pada
waktu yang terlarang. Karena jika shalat istikharah itu
dibutuhkan secepatnya, maka jadilah dia shalat sunnah yang disyariatkan
karena adanya sebab, sementara sudah dimaklumi bahwa waktu-waktu
terlarang shalat ini tidak berlaku pada shalat-shalat sunnah yang
mempunyai sebab, seperti tahiyatul masjid, shalat sunnah wudhu, dan
semacamnya.
Bolehnya shalat sunnah yang mempunyai sebab dikerjakan pada waktu-waktu terlarang merupakan mazhab Imam Asy-Syafi’i dan sebuah riwayat dari Imam Ahmad, serta pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiah. (Lihat Majmu’ Al-Fatawa: 23/210-215)
Bolehnya shalat sunnah yang mempunyai sebab dikerjakan pada waktu-waktu terlarang merupakan mazhab Imam Asy-Syafi’i dan sebuah riwayat dari Imam Ahmad, serta pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiah. (Lihat Majmu’ Al-Fatawa: 23/210-215)
7. Apa yang dia lakukan setelah istikharah?
Jawab: Sebelumnya butuh diingatkan bahwa sebelum melakukan
istikharah hendaknya dia mengosongkan hatinya dari kecondongan kepada
salah satu urusan dari dua urusan yang dia akan mintai pilihan (tidak
berpihak kepada satu pilihan). Akan tetapi hendaknya dia melepaskan diri
dari semua pilihan tersebut dan betul-betul pasrah menyerahkan nasibnya
dan pilihannya kepada Allah Ta’ala.
Imam Al-Qurthuby berkata, “Para ulama menyatakan: Hendaknya dia mengosongkan hatinya dari semua pikiran (berkenaan dengan urusan yang akan dia hadapi) agar hatinya tidak condong kepada salah satu urusan (sebelum dia istikharah).” (Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur`an: 13/206)
Kemudian, setelah dia melakukan istikharah, maka hendaknya dia memilih untuk mengerjakan apa yang hendak dia lakukan dari urusan yang tadinya dia minta pilihan padanya. Jika urusan itu merupakan kebaikan maka insya Allah Allah akan memudahkannya dan jika itu merupakan kejelekan maka insya Allah Allah akan memalingkannya dari urusan tersebut.
Muhammad bin Ali Az-Zamlakani rahimahullah berkata,
Imam Al-Qurthuby berkata, “Para ulama menyatakan: Hendaknya dia mengosongkan hatinya dari semua pikiran (berkenaan dengan urusan yang akan dia hadapi) agar hatinya tidak condong kepada salah satu urusan (sebelum dia istikharah).” (Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur`an: 13/206)
Kemudian, setelah dia melakukan istikharah, maka hendaknya dia memilih untuk mengerjakan apa yang hendak dia lakukan dari urusan yang tadinya dia minta pilihan padanya. Jika urusan itu merupakan kebaikan maka insya Allah Allah akan memudahkannya dan jika itu merupakan kejelekan maka insya Allah Allah akan memalingkannya dari urusan tersebut.
Muhammad bin Ali Az-Zamlakani rahimahullah berkata,
“Jika seseorang sudah shalat istikharah dua rakaat untuk suatu urusan, maka setelah itu hendaknya dia mengerjakan urusan yang dia ingin kerjakan, baik hatinya lapang/tenang dalam mengerjakan urusan itu ataukah tidak, karena pada urusan tersebut terdapat kebaikan walaupun mungkin hatinya tidak tenang dalam mengerjakannya.” Dan beliau juga berkata, “Karena dalam hadits (Jabir) tersebut tidak disebutkan adanya kelapangan/ketenangan jiwa.” (Thabaqat Asy-Syafi’iah Al-Kubra: 9/206) Maksudnya: Dalam hadits Jabir di atas tidak disebutkan bahwa hendaknya dia mengerjakan apa yang hatinya tenang dalam mengerjakannya, wallahu a’lam.
Karenanya, termasuk khurafat adalah apa yang diyakini oleh sebagian orang bahwa: Siapa yang sudah melakukan istikharah maka dia tidak melakukan apa-apa hingga mendapatkan mimpi yang baik atau mimpi yang akan mengarahkannya dan seterusnya. Ini sungguh merupakan perbuatan orang yang jahil tatkala dia menyandarkan urusannya pada sebuah mimpi, wallahul musta’an.
8.
Jika hatinya masih ragu-ragu atau hatinya belum mantap dalam
mengerjakan urusan yang tadinya dia sudah beristikharah untuknya. Apakah
dia boleh mengulangi shalat istikharahnya?
Jawab: Boleh berdasarkan beberapa dalil di antaranya:
1. Istikharah merupakan doa, dan di antara kebiasaan Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam berdoa adalah mengulanginya sebanyak tiga kali.
Hadits ini kami bawakan bukan untuk menunjukkan shalat istikharah diulang sebanyak tiga kali, akan tetapi hanya untuk menunjukkan bolehnya mengulangi doa.
2. Shalat istikharah adalah shalat yang disyariatkan karena adanya sebab. Karenanya, selama sebab itu masih ada dan belum hilang maka tetap disyariatkan mengerjakan shalat ini.
Inilah yang dipilih oleh sejumlah ulama di antanya: Imam Badruddin Al-Aini dalam Umdah Al-Qari` (7/235), Ali Al-Qari dalam Mirqah Al-Mafatih (3/406), dan Imam Asy-Syaukani dalam Nailul Authar (3/89).
1. Istikharah merupakan doa, dan di antara kebiasaan Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam berdoa adalah mengulanginya sebanyak tiga kali.
Hadits ini kami bawakan bukan untuk menunjukkan shalat istikharah diulang sebanyak tiga kali, akan tetapi hanya untuk menunjukkan bolehnya mengulangi doa.
2. Shalat istikharah adalah shalat yang disyariatkan karena adanya sebab. Karenanya, selama sebab itu masih ada dan belum hilang maka tetap disyariatkan mengerjakan shalat ini.
Inilah yang dipilih oleh sejumlah ulama di antanya: Imam Badruddin Al-Aini dalam Umdah Al-Qari` (7/235), Ali Al-Qari dalam Mirqah Al-Mafatih (3/406), dan Imam Asy-Syaukani dalam Nailul Authar (3/89).
9. Haruskah shalat istikharah dikerjakan di malam hari?
Jawab: Dalam hadits di atas tidak ada keterangan waktu pengerjaannya. Karena
shalat ini bisa dikerjakan kapan saja baik siang maupun malam hari.
Barangsiapa yang meyakini shalat ini hanya bisa dikerjakan di malam hari
maka keyakinannya ini keliru. Walaupun tentunya jika dia
mengerjakannya pada waktu-waktu dimana doa mustajabah -seperti antara
azan dan iqamah, sepertiga malam terakhir, dan seterusnya-, maka itu
lebih utama.
Tata Cara, Niat, dan Doa Shalat Istikharah
Shalat Istikharah (sholat
istikhoroh ) atau dalam bahasa awam dikenal dengan shalat istighoroh
adalah Shalat yang dilakukan untuk mencari kebenaran / kebaikan dari dua
urusan. Shalat istikharah dianjurkan melaksanakannya untuk
segala urusan bersifat mubah seperti menikah, perdagangan, dan
perjalanan (safar). shalat istikharah umumnya dilaksanakan pada
sepertiga malam, namun pada dasarnya shalat istikharah dapat
dilaksanakan pada waktu kapanpun jika pelaksanaan shalat istikharah
sudah dihadapkan dengan urusan yang sudah mendesak.
Adapun urusan yang bersifat wajib, bukan menjadi domain shalat istikharah karena
ketentuan kewajiban sudah jelas dan bukan pilihan. Demikian pula urusan
yang diharamkan tidak diperkenankan melaksanakan shalat istikharah,
karena terhalang oleh hukum syariat.
Sesuai hadist yang diriwayatkan oleh Jabir, Rasulullah bersabda :
اذا هم أحد كم بالأمر فليركع ركعتين ثم ليقل: أللهم… (رواه البخاري)
Dalam hadits yang lain Rasulullah SAW bersabda :
من خاب من استخار ولاندم من استشارولاعال من اقتصد . رواه الطبرانى
“Tidak
akan kecewa bagi orang yang melaksanakan shalat istikharah, dan tidak
akan menyesal bagi orang yang suka bermusyawah, tidak akan kekurangan
bagi orang yang suka berhemat” HR ThabraniSelanjutnya menurut riwayat Ibnu Majah :
كان رسول الله صلى الله عليه سلم يعلمنا الإ ستخارة فى الأموركلها كما يعلمناالسورةمن القران
“Sesungguhnya
Rasulullah mengajarkan kita shalat istikharah dalam segala perkara,
sebagaimana Beliau mengajarkan kita surah dari Al-Qur’an”
Cara shalat istikharah :
1. Membaca niat shalat istikharah
أُصَلِّي سُنَّةَ اْلإِسْتِخَارَةِ رَكْعَتَيْن لِلَّهِ تَعَال
“Aku Niat Shalat Sunnah Istikharah dua rakaat karena Allah Ta’ala.”
2.
Pada rakaat pertama shalat istikharah, setelah surat al-Fatihah membaca
surah al-Kafirun. Dan rakaat kedua setelah al-Fatihah membaca surat
al-Ikhlas. Lalu salam dan membaca doa shalat istikharah.3. Doa shalat istikharah :
اللَّهُمَّ
إِنِّيْ أَسْتَخِيْرُكَ بِعِلْمِكَ، وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ،
وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيْمِ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ
أَقْدِرُ، وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ، وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوْبِ.
اَللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ -وَيُسَمَّى
حَاجَتَهُ- خَيْرٌ لِيْ فِيْ دِيْنِيْ وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ
فَاقْدُرْهُ لِيْ وَيَسِّرْهُ لِيْ ثُمَّ بَارِكْ لِيْ فِيْهِ، وَإِنْ
كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ شَرٌّ لِيْ فِيْ دِيْنِيْ
وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ فَاصْرِفْهُ عَنِّيْ وَاصْرِفْنِيْ
عَنْهُ وَاقْدُرْ لِيَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِيْ بِهِ
“Ya
Allah hamba memohon agar Tuhan memilihkan mana yang baik menurut Engkau
Ya Allah. Dan hamba memohon Tuhan memberikan kepastian dengan
ketentuan-Mu dan hamba memohon kemurahan Tuhan yang Besar lagi Agung
karena sesungguhnya Tuhan yang Berkuasa sedang hamba tidak tahu dan
Tuhanlah yang amat mengetahui segala sesuatu yang masih tersembunyi. Ya
Allah, jika Tuhan mengetahui, bahwa persoalan ini baik bagi hamba, dan
baik pula akibatnya bagi hamba, maka berilah perkara ini kepada hamba,
dan mudahkanlah ia bagi hamba, kemudian berikanlah keberkahan bagi
hamba, dan penghidupan hamba, dan jika tidak baik akibatnya bagi hamba,
maka jauhkanlah ini dari hamba dan jauhkanlah hamba dari padanya. Dan
berilah hamba orang yang rela atas anugrah-Mu.”
Semoga
dengan melaksanakan shalat istikharah dapat memantapkan keyakinan hati
dalam menetapkan sebuah urusan. dan alangkah indahnya jika shalat
istikharah kita dilanjutkan dengan melakukan Sujud Syukur.
Demikian panduan melaksanakan shalat istikharah, perbanyak melakukan shalat istikharah, semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar